Bagi Wulandari di Jakarta Timur, memiliki yellow pitaya sesuatu yang luarbiasa. Harap mafhum, yellow pitaya yang mirip buah naga alias red pitaya itu, sungguh menggoda.
“Buahnya manis. Sekali makan pasti ketagihan,” kata pehobi anggrek bulan itu. Wulandari yang merawat Selenicerus megalanthus selama 3 tahun itu, memang baru sekali merasakan buah yellow pitaya berukuran 80-100 gram pada penghujung November 2014.
Tanaman asal setek itu memang lambat berbuah dibandingkan dengan dragon fruit yang dapat dipetik pada umur 1,5-2 tahun.
Bibit setek itu yang ditanam Wulandari dalam pot besar 90 cm yang berisi media pasir, kompos, dan pupuk kandang sapi dengan perbandingan 2:1:1. Ia sengaja menaruh pot tepat di samping tembok rumah. Tujuannya, agar sulur yellow pitaya dapat merambat di dinding. Akar udara yellow pitaya akan mencengkeram tembok sehingga batang tidak terkulai.
Yellow pitaya yang ditanam Wulandari belum banyak di koleksi pehobi di tanahair. Namun di mancanegara seperti di Kolombia dan Israel, tanaman ini sudah dikebunkan secara komersial dan dijual sebagai sebagai buah eksklusif seharga 6-7 dolar.
Menurut Wulandari yellow pitaya rentan terhadap kondisi ekstrim kering. Artinya, ia tak boleh melewati masa kekurangan air.
Sebab yellow pitaya tidak memiliki parenkim dan lapisan lilin yang dijumpai pada buah naga, sehingga ia sensitif terhadap stres air. “Penyiraman dilakukan minimal sehari sekali,” kata ibu 2 anak itu.
Bila kebutuhan tanaman tercukupi, bunga yang terbentuk bisa berbuah. Bunga yellow pitaya bersifat self compatible sehingga  pehobi tak perlu mengawinkan bunga jantan dan betina seperti terjadi pada buah naga.
Yellow pitaya siap panen umur 90-180 pascabunga. Panen biasanya jatuh pada Januari hingga pertengahan Mei.