Gerald R Allen, peneliti ikan dari Australia mungkin tercekat haru saat mendengar kabar ini: ikan pelangi Melanotaenia ajamaruensis ditemukan kembali. Ingatan pakar ikan yang sudah menulis 437 publikasi ilmiah itu akan melayang pada masa 30 tahun silam ketika meneliti ikan pelangi di Papua.
Saat itu Gerald menghabiskan waktu hingga 7 tahun sejak 1982-1989 untuk menjumpai ikan yang diduga turunan evolusi dari ikan hering laut di Sorong Selatan, Papua, habitat asli ajamaruensis. Seluruh sungai, danau hingga rawa disusuri peraih medali K. Radway Allen pada 2004 atas kontribusinya terhadap perkembangan ikan dunia itu. Namun hingga Gerald memutuskan kembali pulang ke Australia pada 1990 hasilnya nihil. Sosok ajamaruensis tidak pernah terlihat hingga statusnya dinyatakan punah.
Ikan bercorak kuning emas kemerahan dengan guratan hitam itu pertama kali dikoleksi dari Danau Aitinjo oleh Sten Bergman pada 1948-1949. Spesimennya ditaruh di Museum Swedia. Danau Aitinjo endemik habitat ajamaruensis selain Danau Ajamaru di sebelah Tenggara yang terpisah jarak sekitar 25 kilometer.
Danau Ajamaru justru salah satu target Dr Marinus Boeseman, kurator Museum Naturalis dari Leiden, Belanda saat mengumpulkan ribuan spesies flora fauna dalam sebuah ekspedisi selama 7 bulan di Papua pada 1955. Ajamaruensis termasuk salah satu ikan hias yang terkoleksi. Sayang hingga 25 tahun berikutnya, spesimen ajamaruensis itu tak kunjung terdeskripsi lantaran Boeseman yang diabadikan menjadi nama salah satu jenis ikan pelangi Melanotaenia boeseman itu tak cukup waktu menelaah semua spesimen ikan pelangi dari ekspedisi itu.
Gerald R Allen dan Norbert Cross pada 1980 yang kemudian mendeskripsikan 4 jenis baru hasil koleksi Boeseman termasuk ajamaruensis tersebut. Dari spesimen Boeseman itu Gerald berusaha mencari wujud asli ajamaruensis di habitat aslinya, tapi nihil hingga 7 tahun perburuan.
Dewi Fortuna lebih memayungi sebuah Ekspedisi Rainbowfish-sebutan ikan pelangi-pada 2007 yang melibatkan 3 institusi, yakni APSOR (kini Politeknik Kelautan dan Perikanan Sorong), Institut de Recherche pour le Développement (IRD) dari Perancis, dan Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar atau LRBIHAT (kini Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias atau Balitbangdias).
Menurut Dr Sudarto, koordinator Ekspedisi Rainbowfish dari LRBIHAT kala itu, ajamaruensis dijumpai saat pengambilan sampel di Sungai Karstik Kaliwensi, Soroang, bekas kanopi era kolonial.
Uniknya sungai itu terlintang hanya sepanjang kurang dari 1 kilometer. “Ikan itu hanya berada di area sepanjang 200 meter,” ujar Sudarto yang memaparkan ekspedisi Rainbowfish pada REIKKA 2014 di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias di Depok, Jawa Barat.
Untuk membuktikan ilmiah bahwa ikan yang hidup hingga umur 7-9 tahun itu adalah ajamaruensis sesungguhnya, anggota tim Eskpedisi Rainbowfish membawa sampel spesies ke Museum Leiden di Belanda. Di sana sampel itu diukur holo-paratype dan dikomparasi dengan spesimen yang ada. Hasilnya? Spesies itu menunjukkan kesamaan sehingga ajamaruensi yang diperoleh dari Karstik Kaliwesi adalah ajamaruensis yang pernah dinyatakan punah oleh Gerald R Allen.