Produksi kentang secara aeroponik di Indonesia masih baru. Aplikasi teknologi aeroponik yang mengandalkan budidaya tanpa tanah dengan sistem perakaran menggantung di udara (aero) tersebut, lazim diterapkan pada sayuran daun.
Khusus sayuran umbi seperti kentang, teknologi itu memberikan sejumlah keunggulan seperti benih bebas dari hama dan penyakit serta produksi benih umbi kentang tinggi dan berkualitas, mencapai 12-14 umbi per tanaman. Padahal cara konvensional memakai media tanam, produksi hanya 5-7 umbi per tanaman. Itu artinya, produktivitas kentang secara aeroponik bisa meningkat 3 kali lipat.
Produksi kentang secara aeroponik bisa dilakukan di daerah dataran rendah dengan perlakuan khusus pada sistem perakaran. Selama ini produksi dilakukan di daerah dataran tinggi bersuhu rendah. Itu terkait laju pembentukan umbi. Suhu pada area perakaran kentang dipertahankan pada 15-18°C. Semakin tinggi suhu dapat berdampak pada penurunan laju fotosintesa serta translokasi asimilat ke umbi, sehingga pembentukan umbi terganggu.
Pemeliharan kentang secara aeroponik memerlukan greenhouse. Sebagai gambaran, untuk populasi 2.000 tanaman dan luas rumah kaca sekitar 60 m2, memerlukan biaya sekitar Rp55-juta. Itu untuk 2 kali masa produksi. Dengan produksi 12-14 benih kentang G0 per tanaman dan harga Rp2.000 per umbi, setiap kali panen diperoleh pendapatan di atas Rp30-juta.
Kentang G0 memiliki pasar luas karena pekebun perlu benih berkualitas. Faktanya, pekebun sulit memperoleh benih berkualitas yang berefek pada produksi. Panen kentang dari pemakaian benih tidak berkualitas sekitar 15-17 ton/ha. Idealnya, produksi tersebut mencapai 25-30 ton/ha. Sebab itu wajar bila angka impor benih kentang masih tinggi, sekitar 300.000 ton/tahun.


