Waduk Cirata di perbatasan Kabupaten Cianjur, Purwakarta, dan Bandung Barat-seluruhnya di Jawa Barat, menyimpan beban berat lingkungan. Hal tersebut terjadi sebagai dampak budidaya perikanan konsumsi sistem keramba jaring apung (KJA) yang berjalan sejak 2002.
Waduk Cirata seluas 62 km2 semestinya hanya menampung 7.204 unit KJA, meskipun pada awal pemanfaatan berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. 41 tahun 2002, daya tampung KJA yang diizinkan beroperasi sekitar 12.000 unit. Faktanya, pada 2024, populasi KJA telah mencapai sekitar 120.000 unit, melonjak hingga 10 kali lipat.
Pemerintah melalui Satgas Citarum Harum, mulai melakukan penertiban KJA yang tidak sesuai regulasi. Pada akhir 2024, sekitar 2.554 unit KJA dibongkar. Pembongkaran itu bertujuan menekan dampak negatif dari kualitas air dan ekosistem Waduk Cirata. Penertiban tersebut terus berjalan pada 2025 dengan target sekitar 3.000 unit KJA.
Dampak negatif populasi berlebihan unit KJA tersebut adalah peristiwa upwelling. Upwelling merupakan naiknya air bawah yang lebih dingin dan kaya nutrisi ke permukaan yang lebih hangat. Proses itu bisa menyebabkan endapan di dasar waduk terangkat. Endapan itu biasanya berlimpah amoniak.
Sumber utama amoniak itu berasal dari pembusukan bahan organik (sisa-sisa pakan dan kotoran ikan). Proses pembusukan oleh bakteri nitrifikasi itu memicu penurunan kadar oksigen terlarut di perairan sehingga merusak ekosistem, bahkan membinasakan organisme perairan.
Amoniak tinggi pada ikan menyebabkan kerusakan pada jaringan insang, bahkan pada pH di atas 8, kondisi amoniak itu menimbulkan kerusakan sistem organ ikan. Kejadian upwelling pada 2021, membuat mati 10 ton ikan konsumsi (ikan mas, nila, dan bawal) di Waduk Cirata. Pemerintah telah menetapkan standar mutu air melalui Surat Keputusan 51/MENLH/10/1995 dengan nilai kadar amoniak 1-5 mg/L.