Sejarah mencatat, interaksi manusia dan gajah sudah berjalan puluhan ribu tahun. Sekitar 30.000 tahun silam, masyarakat Palaeolitikum di Eropa telah memanfaatkan gading gajah sebagai benda seni. Lukisan dinding di sejumlah gua di Eropa serta Afrika Utara menyajikan sosok gajah sebagai mangsa bagi masyarakat praagrikultur.
Selama perjalanan waktu, termasuk masa prasejarah, gajah memiliki aneka peran seperti hewan pengangkut, obyek untuk penghormatan, hama di pertanian, simbol serta konsumsi, hingga benda seni.
Pada masa Firaun di Mesir, gajah dimanfaatkan saat membangun piramida. Dari berbagai ornamen yang dijumpai, diduga Firaun memanfaatkan spesies gajah mammoth. Meski begitu, fakta tersebut agak meragukan lantaran populasi gajah mammoth terakhir dijumpai di Kepulauan Wrangel, Artik, yang mempunyai periode waktu sama dengan Firaun.
Di Benua Asia, peran gajah sebagai pengangkut hingga mendapat penghormatan sudah berjalan lama. Pemanfataan gajah itu antara lain terlacak sebelum invasi Yunani ke Asia.
Sekitar 5.000-1.000 tahun SM, gajah di Lembah Sind merupakan kendaraan tempur serta pengangkut barang, terutama kayu. Selanjutnya, invasi kaum Aryan pun menyertakan gajah, seperti termaktub pada naskah berbahasa sansekerta Matanga-Lila oleh Nilakantha.
Sekitar abad ke-5 dan ke-6 SM muncul Gajahshastra di India. Gajahshastra merupakan kitab sastra yang berisi pengetahuan pengelolaan gajah, terutama untuk keperluan agama, sarana angkut, serta interaksi dengan mahout (pawang, red).
Sampai Inggris menginjak kakinya di India, pemanfaatan gajah terus berlanjut, sebagai alat angkut kayu maupun peperangan. Penghormatan terhadap gajah mudah dijumpai di India, Burma, Srilanka sampai Indonesia.
Budaya di Asia mengakui gajah Asia sebagai hewan simbolik. Hewan darat tersebar itu melambangkan kebijaksanaan, kekuatan, dan kesucian. Gajah simbol dari sifat karismatik, bijaksana, megah, berani, serta sabar.
Terdapat ribuan cerita mengenai gajah. Sebagai warisan budaya dan alam, gajah memang memainkan peran penting pada komunitas agama dan kekuasaan, serta legenda dan cerita rakyat pada umumnya.
Di sejumlah negara Asia, gajah pun mendapat strata lebih tinggi ketimbang satwa lain. Upacara adat acapkali memakai gajah. Fungsinya membawa penguasa serta barang berharga.
Selama masa pemerintahan raja-raja di Myanmar, India, Thailand, serta Laos, gajah tertangkap dijinakkan, lantas dilibatkan dalam upacara agama. Myanmar dan Thailand bahkan menjadikan gajah putih yang sangat langka menjadi simbol keberuntungan, kebanggaan nasional, dan kekuasaan.
Gajah putih dapat diperebutkan oleh 2 kekuasaan sampai berujung perang. Contoh sejarah dan budaya gajah di Thailand yang melegenda adalah peninggalan Buddha pada abad ke-14. Raja Kuena pun diabadikan peninggalannya dengan gajah di taman bunga Biara Royal (Wat Suan Dok) di Chiang Mai. Sebuah suaka margasatwa dibangun di sana dengan Wat Phrathat-Buddha untuk biara di dekat puncak Gunung Doi Suthep (Dr Wisnu Sukmantoro).
Riwayat penulis: Penulis merupakan alumnus biologi Universitas Padjajaran (Unpad) dan menyelesaikan tingkat doktoral pada konservasi gajah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Saat ini penulis merupakan anggota IUCN SSC-Asian Elephant Conservation Specialist.