“Rasanya seperti mengulum gula batu, tapi ini asin,” ujar Handoko dari Bintaro, Tangerang, Provinsi Banten pada bebeja.com.
Pria 28 tahun itu mencicipi 2-3 butir garam bambu alias jukyeom abu-abu keputihan di anjungan Korea Selatan pada SIAL Interfood 2016 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Selatan.
Garam bambu itu pertamakali dikembangkan oleh pengobat serta biarawan di negeri Ginseng sekitar 1.000 tahun silam. Garam berbentuk kristal padat tersebut diyakini berkhasiat obat untuk menyembuhkan aneka penyakit seperti kanker. Keyakinan itu masih berlaku sampai saat ini.
Garam bambu diproses dengan cara memanggang garam laut dari wilayah laut di utara Korea. Garam itu lantas ditaruh dalam bilah bambu berumur 3 tahun dengan ujung bambu ditutup tanah liat saat proses pemanggangan. Proses itu memakan waktu 10 jam pada suhu tinggi hingga 800-850°C.
Suhu tinggi itu menyentuh titik leleh garam sehingga begitu garam mendingin, ia akan mengeras seperti kristal.
Proses pemanggangan garam yang mengkristal itu dapat diulang 3-9 kali. Semakin banyak garam dipanggang, khasiat garam bambu tersebut semakin oke lantaran mineral dari seluruh bahan kian lekat menyatu.
Kondisi itu berpengaruh pada harga jual garam bambu. Garam bambu yang dipanggang 9 kali dapat menembus harga Rp1,5-juta per 250 gram. Pantas bila garam bambu dari Korea disebut garam termahal di dunia.
Umumnya, garam bambu yang dipanggang 9 kali mempunyai warna lebih gelap, cenderung abu-abu keputihan. Berbeda dibandingkan garam bambu yang dipanggang 3-4 kali, dijumpai dominan putih.
Sebab proses pemanggangan sangat krusial terhadap khasiat, kemasan produk garam bambu wajib mencantumkan jumlah pemanggangan tersebut supaya konsumen mafhum.